Sunday, April 24, 2011

PROBLEM MANAGEMENT


Tadi malam banyak sekali - ribuan orang mungkin - yang update status hanya tentang banjir dan macet di jakarta. Dan kebetulan saya sendiri masuk diantara yang terkena macet dan banjir itu. Jalan protokol  seperti rasuna said bahkan sudah menjadi sungai, bisa buat berenang tuh. Ya padahal kan itu pemandangan rutin di ibukota kita, tak ada yang aneh dan bukannya itu sudah biasa dan wajar, terus kenapa ya banyak yang pada ribut?????? Hahahahahahahahahaha...............

Kan percuma kita ribut, toh dari tahun ke tahun sama saja tak ada perubahan, bahkan lebih parah mungkin. Jadi salah siapakah kalau begitu? Salahnya yang suka ribut dan mengeluh kali ya?
Daripada ribut ya mending saya nulis saja, tulisan ini tentang bagaimana mengelola masalah (problem management).

Problem management adalah bagimana kita mengelola masalah yang sudah terjadi, baru terjadi atau akan terjadi dengan baik. Ingat kata kuncinya mengelola bukan mengatasi karena ini problem management bukan problem solving.
Nah dalam problem management versi saya ini, saya membagi ke dalam 5 level tingakatn dari yang paling rendah sampai tingkat terbaik.

Level pertama: Tidak tahu kalau ada masalah
Ini adalah level paling rendah, masalah sudah terjadi tapi tidak tahu kalau itu adalah masalah. Mungkin rekan-rekan tertawa, dan tidak percaya ada orang seperti itu. Hehehehe..
Maaf tapi pada kenyataannya di masyarakat kita justru ini banyak sekali dan mungkin malah mayoritas. Jangan dipikir ini dari golongan bawah dan tidak berpendidikan saja, tak sedikit dari intelektual berpendidikan, pegawai kantoran, sarjana yang juga masuk golongan ini. Contoh sederhana; banyak sarjana yang melakukan kerjaan rutin yang sama setiap harinya, dan dianggap ya biasa saja. Padahal bagi orang tertentu itu adalah masalah dan itu bisa dibuatkan sistemnya dan kerjaan rutin jadi otomatis deh. Masalah selesai.

Level kedua: Tahu ada masalah tapi tidak mengatasinya
Ini banyak sekali terjadi di sekitar kita dan kita sendiri juga sering seperti ini. Tahu ada masalah tapi enggak mengatasinya bahkan pura-pura tidak tahu dan bahkan tidak mau tahu, bahkan kalau perlu menyalahkan orang lain saja. Jadinya saling menyalahkan dan hasilnya masalah ya tetep ada dan malah sering membesar. Contohnya ya macet dan banjir di jakarta saat ini: rakyat nyalahin pemerintah dan sang “ahli” nanti kan pemerintah tinggal nyalahin alam atau cuaaca ekstrem dan masyarakat yang tak tertib buang sampah atau penebangan liar. Ya kan dadi muter-muter siapa yang salah coba???? Hehehehe....
Contoh lain ya kasus lumpur lapindo, udah jelas masalah dan human error tetap saja alam yang disalahain dan penangannya ya kapan-kapan saja kalau inget lah... hihi  :)
Ini juga sering terjadi di dunia kerja kan? Nah kalau ada problem kan setiap orang justru sibut mencari alibi dan kalau perlu cari kambing hitam saja. Hayo ada engga diantara rekan-rekan yang seprti itu? ...

Level ketiga: Tahu ada masalah dan mengatasinya
Ini level standar, artinya ini seharusnya menjadi level minimum bagi kehidupan kita sebagai manusia dan masyarakat. Artinya kalau ada masalah ya harus segera di selesaikan. Tapi inget ya jangan ikut-ikutan cara penyelesain masalah gaya pejabat atau perusahan kita saat ini. Yaitu memecahkan masalah dengan menimbulkan masalah baru, nah lebih parah lagi masalah barunya lebih serius dan berbahaya. Contoh membangun perumahan atau apartemen yang bebas banjir tapi kenyataanya justru mebuat banjir bagi lingkungan/kampung disekitarnya yang justru semula tidak banjir. Ada yang mengalaminya tidak ya??
Nah langkah-langkah dalam penyelsain maslah yaitu; mengetahui/mengidentifikasi adanya masalah, mencari akar permasalahannya/ atau penyebabnya, menyusun alternatif penyelesaian, memilih alternatif yang terbaik, action dari penyelasian, dan terakhir evaluasi. Kalau langkah-langkah ini kiranya tidak perlu dibahas karena sudah banyak literatur yang membahas dan saya yakin rekan-rekan semua sudah hafal di luar kepala.

Level keempat: Mencegah terjadinya masalah
Ini level yang cukup baik, dimana kita atau organisasi sudah pada tahap preventif. Artinya mencegah atau mengatasi masalah yang akan terjadi. Artinya yang dikerjakan sekarang adalah untuk mengatasi masalah yang akan datang dan bahkan di masa depan yang jauh sekalipun. Contoh: negara maju membangun jalan dan sistem transportasi nya dan telah selesai sekarang untuk mengatasi masalah kemacetan  5 tahun kedepan. Artinya 5 tahun yang akan datang mereka akan membangun sistem untuk mengatasi masalah pada 10 tahun yanga akan datang. Nah bagaimana dengan bangsa kita atau kita sendiri?? Silahkan jawab dalam hati saja ya.. heheheheehehehehe...................

Level kelima: Mencegah peluang terjadinya masalah
Nah ini level paling tinggi, dan biasanya Cuma dilakukan oleh negara yang sangat maju atau corporasi bonafit. Pada level ini mereka tidak Cuma mengantisipasi masalah yang akan terjadi saja tapi sudah mengantisipasi kemungkinan akan terjadi masalah. Jadi yang diatasi itu adalah kemungkinan atau peluang terjadi masalah itu sendiri. Nah hal ini sulit untuk memberi contoh, karena susah mendapatkan data dari mereka itu. Level ini biasanya yang dilakukan pada instansi intelegent atau badan rahasia pemerintah. Jadi ya contohnya rahasia juga ah.... :)

Okay itu saja pembahasan mengenai problem amnagement ini. Lepas dari pembahasan diatas ada hal yang lebih penting buat kita. Yaitu bila ada masalah mari kita coba selesaikan masalah itu mulai dari diri kita sendiri dari lingkungan yang paling dekat dengan kita, jangan menunggu orang lain untuk menyelesaikannya, karena hasilnya ya akan saling menunggu dan saling mengandalakan.
Contoh  masalah banjir dan macet, kita bisa mulai dari diri kita sendiri dengan tidak membuang sampah sembarangan membersihkan saluran air dan lain-lain. Percuma kita protes dan demo kalau kita sendiri tidak melakukan perbuatan yang nyata. Hehehehe

Demikian  saja sedikit celoteh dari saya, dan sebagai penutup ada pertanyaan buat rekan-rekan sekalian.
Apa yang anda lakukan bila ada masalah?
a)      Pura-pura tidak tahu
b)      Menyalahkan orang lain
c)       Kaburrrrrrrrrrrrrrrr

Okay berhubung saya mau kabur dulu, cukup sekian dan sampai ketemu di banyolan lainnya.

Salam,
Tri Mulyono

Saturday, April 23, 2011

Dew in the morning

SAID: “HELLO, THANKS, & SORRY”...


Kita adalah makhluk sosial. Kia hidup bersama masyarakat, dikantor bersama rekan kerja, dan keluarga terdekat kita adalah tetangga. Kekeluargaan dan gotong-royong adalah budaya bangsa dan warisan nenek moyang kita sejak dulu kala. Tapi apa yang terjadi sekarang terutama dikota-kota besar kita. Kita hidup individualisme bahkan lebih individulaisme dari negara yang menganut paham individualisme itu sendiri. Yang justru terjadi adalah teman makan teman, atasan menekan bawahan, yang kaya memeras yang miskin, bawahan menjilat atasan, yang miskin merampok yang kaya, dan seterusnya. Kalau siklus dan perputaran hidup seperti ini terus maka apa yang akan terjadi dengan bangsa ini. Ya kita bisa pikirkan dab bayangkan sendiri lah......

Ya begitulah degradasi moral yang sudah cukup parah terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Kalau dulu waktu sekolah bapak dan ibu guru bilang orang indonesia itu sopan santun dan ramah, well kenyaaanya jauh sekali, banyak sekali sifat buruk yang dimiliki orang di negeri ini. Ya tentu saja sifat jelek itu juga mengalir dalam darah aku sendiri. Contoh sifat-sifat itu anara lain: pemalas, culas, iri, dengki, tak bertanggung jawab, mau menang sendiri, penjilat, dan lain-lain yang masih banyak sekali.

Bagaimana kita mengatsainya? ya tergantung pada diri kita sendiri bukan orang lain. Untuk mengikis semua sifat jelek itu tentunya kita harus merubahnya satu persatu. Untuk hal itu kita dapat memulai dari cara yang paling sederhana yang bisa kita lakukan adalah dengan 3 langkah simple yaitu dengan mengatakan: hello, thanks, and sorry.....

Said: hello..............
Memberi ucapan salam (selamat pagi, selamat siang, apa kabar, halo, Assalamu’alaikum, salam sejahtera dll) adalah hal yang sangat sederhana tapi sering kita lupakan. sSbagai bukti pagi tadi siapa yang mengucapkan salam atau sekedar say hello dengan satpam atau security di kantor. Jawabannya saya yakin tak banyak. Tapi tahukah kata sederhana itu sangat berarti buat meraka dan itu sudah merupakan penghargaan buat mereka. Ingat perbanyak salam buat orang yang dibawah kita, jangan hanya mengucapkan salam buat atasan atau yang pangkatnya lebih tinggi saja.

Said: thanks............
Apa yang kita lakukan bila si boss meberi tahu kita kan naik pangkat atau gaji kita naik? Ya pasti kita akan berterima kasih padanya. Bahkan mungkin sangat berterima kasih padanya atas kebaikan si boss pada kita. Kalau menurut saya ya ucapkan terimakasih dengan wajar saja dan jangan berlebihan. Karena kita harus ingat kita hanya bisa naik jabatan atau naik gaji hanya karena kemampuan ,keahlian, dan prestasi kitalah. Jadi bukan karena kebaikan si boss. Namun apakah tadi pagi kita sudah mengucapkan terimakasih pada OB (office boy) kita yang telah membuatkan minuman kita? Berapa banyak dari kita yang mengucapkannya hari ini????... ya begitulah kita kadang lupa menghargai orang yang berjasa buat kita sendiri. Yang harus selalu kita ingat fokus terimakasih adalah lebih banyak ke bawah dan yang setara dan sedikit yang keatas. Jadi ingat pengalaman dulu (waktu masih kerja di beberapa tempat laen/bukan yang sekarang). Pernah menguji si boss, beliau meminta saya melakukan pekerjaan, setelah selesai saya lapor dan saya bilang terimakasih. Jawab beliau: kamu salah yang harusnya mengucapkan terimakasih saya, karena kamu melakukan kerjaan buat saya. Well si boss mempunyai rasa penghargaan yang cukup tinggi. Ya begitulah seharusnya bila kita jadi pemimpin. Tapi pernah juga aku bekerja dan si boss meminta aku mengerjakan dengan deadline yang mendadak, alhamdulillah selesai jauh sebelum deadline, aku lapor dan bilang terimakasih. Jawab beliau: okay ....... titik. Well kalau disini kita yang bekerja dan kitalah yang harus berterima kasih pada si boss. Ya saran saya Cuma satu: jangan ditiru ya.. hehehehehehe...........

Said: sorry.........
Nah ini dia hal yang sederhana tapi sulit sekali melakukannya. Namun sebelumnya jawab dulu pertanyaan ini: Jika dalam bekerja kita melakukan kesalahan besar tapi boss belum tahu, apa yang anda lakukan?
a. Mengkaku salah dan meminta maaf.
b. Pura-pura tidak tahu dan seolah-olah tidak ada kesalahan.
c. Diam aja toh si boss juga gak tahu.
Nah gimana kalau si boss sudah tahu, apa yang anda lakukan?
a. Mengaku salah, minta maaf, dan kemudian bersedia bertanggung jawab.
b. Mencari pembenaran diri atas hal tersebut (jurus seribu alasan).
c. Ya salahin aja orang lain (cari kambing hitamlah) kalau perlu marahin dulu orang lain biar kita dianggap benar.
Nah mari kita renungkan pertanyaan tersebut dalam hati dan kemudian kita jawab dalam hati saja.
Jawabnya ya begitulah diri kita, dan aku sendiri akui itu memang hal sulit. Kita cenderung bisa minta maaf untuk hal-hal kecil, terlambat datang, telat meeting, baru kita minta maaf. Kalau kita melakukan kesalahan besar beranikah kita mengaku salah, ya memang sulit. Tapi kalau dilakukan justru keajaibanlah yang akan datang.
Jadi inget pengalaman waktu mengendarai motor dan ditabrak mobil dari belakang. Waktu itu depan ada lampu merah, semua kendaraan berhenti dan saya pun berheni di dibelakang kendaraan lain, tiba-tiba dari belakang ada mobil langsung nabrak bagian belakang motor saya. Belum keluar satu katapun dari mulutku karena shock, eh sang pengemudi mobil langsung buka jendela dan marah-marah kepada saya, “ kurang ajar kamu kenapa ngerem mendadak?” diserati umpatan dan caci maki. Well saya tadinya mau marah ya justru malah ketawa dalam hati, well itu lampu merah dah merah dari tadi dan semua sudah berhenti, kecepatan saya Cuma 20km/jam dan lampu dah keliatan 200 meter sebelumnya. Kuperhatikan si pengemudi itu masih sambil bertelpon ria. Ya begitulah budaya bangsa ini, kalau salah marah dulu aja biar gak disalahin dan menang. Cukup menyedihkan memang.
Nah itu baru kita yang salah saja tidak mau mengaku. Bagaimana kalau orang lain yang salah? Beranikah kita yang mengakui salahnya dan mengambil alih tanggung jawabnya???.. coba praktekkan dan lihat apa yang akan terjadi. Percayalah keajaiban akan datang......

Jadi maril kita mulai hari esok dengan mengatakan:” halo, terimakasih, dan maaf.”


Salam,
Trimul
Turu nggelar kloso.........

GAYA JURAGAN & JIWA PENGEMIS


Untuk sekian kali waktu di mall dan waktyu parkir, waktu mau beli sesuatu, mau ke toilet ya kita dipanggir Boss. Kadang-kadang saya jadi termunung sendiri dan berpikir “emang tampang saya kayak boss atau juragan ya? ya kalau betul begitu saya harus segera bersyukur, meskipun terus terang saya sendiri ragu akan kebenarannya.. hehehehehehe...

Nah pada dasarnya masyarakat kita suka sekalai bergaya juragan, boss, majikan dan makhluk sejenisnya itu. Di jalan raya sering kali kulihat orang ngebut, salip kanan-kiri tanpa peduli pengguna jalan lain. Kalau macet pencet klakson sekenceng-kencengnya sambil marah-marah tentunya biar lebih afdol katanya. Nah kalau ada serempetan atau tabrakan sudah bisa dibayangkan apa yg terjadi? Tentu saja marah, ngomel-ngomel, nyalahin orang kalau perlu adu jotos malah.. hahahaha.. lucu emang tapi ya begitulah yang terjadi di negeri ini. Karena kita merasa orang yang paling penting dan harus buru-buru dan berpikir jalanan adalah milik nenek moyangnya . Pertanyaannya: apa kita sudah bayar pajak yang seharusnya? Jangan-jangan malah ngemplang pajak.. hihihihihihi...
Contoh lain; sulit sekali masyarakat kita untuk mengantri, sampi di bandarapun masih saja ada orang yang nyerobot antrian (padahal saya yakin yang naik pesawat itu rata-rata adalah orang berpindidikan – kecuali TKI atau TKW ya). Jadi seharusnya budaya antri ini sudah dilakukan oleh kaum intelektual dan berpendidikan. Nah kenyataannya masih saja susah untuk antri.

Ya begitulah segelintir contoh gaya juragan dari kehidapan sehari-hari masyarakat kita. Gaya juragan itu sendiri menurut saya adalah warisan dari sistem feodalisme. Raja adalah utusan dewa, sehingga semua orang harus tunduk apa kata sang Raja (sabda panditaning ratu). Dalam masa penjajahan sistem itu lebih terasa sperti penguasa pemerintahan, kepala perkebunan, dan lain-lain telah menjadi raja-raja kecil di masa itu. Nah celakanya setelah merdeka dimana semua orang bilang jaman reformasi dan demokrasi ini justru semua orang pengen jadi raja, juragan, boss, majikan, pejabat dan sejenisnya dimanapun dan kapanpun. Hal ini bisa dilihat dari sebutan kepala daerah atau kepala pemerintahan kita masih disebut (dan yang bersangkutan sendiri menyukainya)sebagai pejabat atau penguasa. Kalau kita lihat di negeri barat asal demokrasi itu sendiri para kepala pemerintah atau pegawai itu disebutnya “Public serve” pelayan publik. Loh kok beda ya sama di negara kita? Ya tentu saja kan bangsa kita bangsa juragan bukan bangsa pelayan. Betul engga rekan-rekan???? Hehehehehe...................

Di sisi lain kita selalu melihat di hampir setiap lampu merah di kota jakarta terdapat pengemis dan pengamen. Lebih parah lagi justru banyak diantara mereka yang masih muda dan bahkan anak-anak. Dan banyak diantara mereka yang saya rasa punya tenaga dan kemampuan untuk bekerja tapi malah justru mengemis. Jadi mengemis itu sudah menjadi profesi dan mungkin malah bisa dikatan sebagai “karier profesional” mereka. Hihihihihi..
Kita itu bangsa pemalas, jadi kalau bekerja malas, maunya minta saja lah. Maksudnya minta gaji besar gitu. Wekekekekekekek (penglaman pribadi nih).........

Jadi inget kata-kata bijak Mario Teguh “Bukti kalau kita di hargai adalah jika kita dibayar tinggi” sesuai kata dasar dari di hargai adalah “harga”. Nah disini ternyata banyak juga yang menelan kata bijak tersebut mentah-mentah, tanpa memahami makna kata-kata beliau. Jadi banyak yang menuntut (artinya sama dengan meminta bin mengemis) agar gajinya naik atau dibyara tinggi sebagai bukti dirinya dihargai tersebut. Nah tapi banyak tidak mengecek diri seberapakah “valau added” yang kita berikan bagi perusahaan. Simpelnya kalau ada merasa tidak dihargai karena merasa gajinya kurang maka cek dulu. Kalau dengan gaji anda tersebut anda mengeluh dan dari keluhan anda banyak perushaan berlomba-lomba memberi tawaran yang lebih tinggi agar anda mau bergabing dengan mereka maka anda layak minta kenaikan gaji, ini yang disebut kurang atau tidak dihargai perusaahaan. Tetapi kalau tidak ada penrusaan yang mau menampung dengan gaji lebih tinggi, maka kita sendiri harus mengecek benarkah kita tidak dihargai? Jangan-jangan kita sendiri malah sudah “over valau”.

Wah ini malah ngelantur sampai harga menghargai. Kembali ke masalah juragan dan pengimis lagi. Nah yang justru paling hebat dari bangsa kita adalah kombinasinya. Ya banyak orang yang bergaya Juragan tapi mentalnya adalah pengemis. Komplit pokoknya. Contoh saja; banyak kan para penguasa kita yang sok juragan, maen perintah sana sini (kadang-kadang gak tahu juga yang diperintahkan apa) maen tunjuk. Ibarat raja yang ingin dilayani, kemudian kalau ada urusan minta jatah dong. Tak ada duit maka proses berhenti. Istilahnya uang pelicin, uang jalan, uang jajan, uang tutup mulut, uang suap dan segerombolannya itu. Hahahahahaha bener-bener pokoknya. Contoh lain bapak petugas tilang itu kalau kita menghadap urusan rumit dan gayanya itu loh kayak raja kecil, eh ujungnya “pak ogah juga” duit dong mas......... hehehehehe .. udah ah contohnya, takut nanti saya diciduk. Hihihihi........

Okay cukup sekian dulu. Dan terakhir apakah diantara rekan-rekan ada yang bergaya Juragan dan berjiwa Pengemis????

Salam,
Tri Mulyono
mangan telo sebab ora kuat tuku sego

WARISAN GAYA FEODAL


Terngiang saya akan kata-kata Bob Sadino “ My religion is freedom, saya belajar dari jalanan bukan dari sekolah”. Ya begitulah stidaknya yang beliau katakan di acara ”Kick Andy”. Di lain pihak bangsa ini selalu menekan pentingnya pendidikan (dalam arti konteks pendidikan formal). Karena pendidikan (formal) adalah kunci kesuksesan seseorang dan tentunya bangsa. Pertanyaanya lalu siapa yang benar hayo???...
Pernah juga saya berbincang dengan seorang kawan yang kebetulan sudah S-2, beliau bertanya kepadku kapan mau S-2? Well secara reflek saya menjawab untuk apa ambil S-2? Beliau menjawab ya biar gaji naik atau jabatan naik. serentak saya terkejut mendengarnya. Jadi gaji atau jabatan ditentukan oleh ijazah atau sertifikat ya. Untuk itu saya harus kembali merenung dan memahami diri saya sendiri. Apakah yang saya lakukan saat ini benar atau tidak.


Menurut saya ilmu sangat penting untuk dimiliki, bukan tempat pendidikan, gelar, ijazah, atau sertifikatnya. Ilmu bisa didapat dimanapun dan kapanpun. Agama saya (Islam) juga sangat menekankan arti pentingnya Ilmu ini. Ayat yang pertama turun adalah Iqra’ (bacalah) menunjukkan betapa pentingnya kita untuk belajar atau membaca. Namun beberapa golongan menafsirkan ini dalam arti sempit, hanya membaca Kitab atau buku. Padahal membaca itu sangat luas, membaca alam, membaca situasi, keadaan, membaca tubuh, atau membaca jalanan (seperti Bob Sadino) dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan perushaan/lembaga yang mendasarkan gaji dan pangkat berdasar tingkat pendidikan semata. Menurut sya hal itu adlah warisan feodalisme yang masih melekat pada organisasi tersebut. Ya jadi yg bisa mendaftar atau level tertentu yang bisa adalah orang tertentu dan kebanyakan dari golongan menengah atas dimana mereka bisa memperoleh akses pendidikan yang cukup memadai.


Kesimpulan saya adalah gaji atau pangkat itu berdasarkan kempauan seseorang (terutama kemapuan untuk menghasilkan) bukan dari tingkat pendidikan. Namun demikian kemampuan itu bisa diperoleh baik memalui jalur pendidikan ataupun jalur nonformal seperti Bob Sadino.
Kedua kapan kita harus belajar: saat kita tidak mampu melakukan sesuatu maka itu artinya kita harus belajar untuk meningkatkan kemampuan kita.
Dengan demikian kesempatan setiap orang adalah sama, tentu saja kalau akses pendidikan formal lebih terjangkau untuk setiap orang (ya minimal sampai jenjang strata 1) maka akan jauh lebih baik lagi. Karena pendidikan sampai tingkat S-1 tersebut adalah dasar yang membentuk kemampuan dasar dan pengembangan pribadi awal. Tapi tidak salah pula bila orang belajar dari tempat lain (di jalanan misalnya) asal kemampuannya ada kenapa tidak?
Sukses bukan dari tingkat pendidikan, sukses dari kempuan bertindak dan menghasilkan.


Jadi sudahkah kita menjadi pribadi yang menghasilkan??...


Salam,
Tri Mulyono

CITA-CITAKU MENJADI PELAYAN


Waktu kecil sering kita ditanya: apa cita-citamu nanti? Dari SD sampai SMA aku jawbanku selalu berubah. Waktu SD bercita-cita jadi Dokter, SMP ingin jadi Guru, SMA ingin jadi Insinyur, Waktu kuliah jawabannya agak kerenlah (maklum gengsi dong kan namanya juga mahasiswa) ingin jadi orang sukses. Tapi kalau sekarang orang bertanya kepada saya apa cita-citaku: maka jawabannya Cuma satu dan pasti yaitu Aku ingin jadi “Pelayan”.
Ya begitulah cita-citaku, cita-cita orang kecil dan yang paling mudah. Biarlah aku jadi pelayan biar pula orang memanggil aku pembantu, pembokat, jongos, abdi, rewang, atau semacamnya. Ya apa mau dikata itulah yang menjadi panggilan jiwaku.

Jiwaku adalah pelayan, nafasku ada untuk melayani dan Hidupku adalah untuk mengabdi. Aku melayani setiap orang yang ada disekitar dan berhubungan denganku. Ya meang sudah banyak buku manajemen perusahaan yang menulis dan mengajarkan bagaimana pentingnya pelayan yg terbaik atau pelayanan yang sempurna bagi customer. Pelayanan terbaik akan memberikan loyalitas customer pada produk perushaan dan pada akhirnya akan berdampak pada keuntungan perusahaan. Namun bagaimana dengan kehidupan saya sendiri? Siapakah cutomer saya?

Pertama dalam bekerja customer saya cukup banyak, Atasan kita adalah customer ya tentu saja kita memberikan jasa tenaga dan pikiran buat Beliau, rekan kerja, relation, mitra perusahaan juga customer kitaa, maka kita harus memberikan pelayanan terbaik bagi mereka, ya karena memang kita mengabdi buat mereka. Disamping itu bawahan pun adalah customer kita, ya mereka memberi bantuan buat kita maka kita harus memberi pelayan terbaik pula buat mereka. Semakin tinggi jabatan dan posisi kita semakin banyak juga yang harus kita layani. Artinya semua pihak yang berhubungan dengan kita di lingkungan kerja adalah customer kita. Tanpa mereka kita tak ada, penghasilan pun tidak ada. Cara terbaik untuk melayani mereka yaitu dengan bekerja dengan baik, smart, cepat, akurat, dan saling menghargai dan menghormati. Jadi semakin bagus pelayan kita maka akan semakin besar pula hasil yang akan kita dapatkan. Bukan begitu? (tapi bukan dari tips ya) kita harus iklas dan bersyukur menerima rizki dari hasil keringat kita sendiri.

Kemudian di kehidupan bermasyarakat, maka semua orang juga customer , orang tua, dan keluarga adalah customer kita, kita harus melayani mereka dengan tulus dan ikhlas. Carnaya ya kita bersosialisasi dengan masyarakat, menghormati orang tua dan sebagainya. Kemudian bila berkeluarga (maklum masih single)maka kita akan menjadi pelayan bagi pasangan kita (istri/suami) dan anak-anak kita. Ya benar kita adalah pelayan pasangan kita, kita harus memberikan pelayanan terbaik baginya tanpa mengharapkan sesuatu, kita adalah pelayan bagi anak-anak kita, pelayan untuk memberi nafkah dan pelayan untuk mendidik. Pasangan kita bukan pelayan kita tapi kitalah pelayan mereka, anak bukan di didik untuk berbakti pada kita, tapi kitalah yang mengabdikan hidup buat mereka. Yang paling membahagian dalam hidup adalah ketika melihat orang orang dekat kita, orang yang kita sayangi hidup dalam kebahagiaan, dan kitalah yang berkewajiban sebagai pelayan untuk mencapai kebahagiaan itu. Jadi bagi yang suadah menikah, apakah rekan-rekan sudah menjadi pelayan buat pasangannya?? Hehehehe

Terakhir kita adalah pelayan Tuhan, kita hidup untuk melayani Tuhan (Allah dalam Islam keyakinan saya ). Ya kita hidup untuk menyampaikan ajaran Tuhan tentang kebaikan kepada sesama dan lebih lagi pada keluarga. Tuhan tak butuh Ibadah kita, Tuhan tak akan kehilangan KeAgungan maupun wibawa bila kita tidak beribadah. Ibadah kita itu adalah untuk memperbaiki Akhlak kita sendiri dan lingkungan kita agar kita bisa menjadi pelayan terbaik bagi sesama kita.

Jadi Cita-citaku adalah menjadi pelayan.

Salam,
Trimul
(Tetep mangan telo sebab ora kuat tuku sego)

Blue hours



Line, Curve & Shadow

BERKOMUNIKASI DENGAN DIRI SENDIRI

Ada yang pernah lihat orang berbicara sendiri di jalan? Hehehehehe... betul itu pasti orang GILAAAAAAAAA... Nah tapi tahukah kalau sebenarnya sebagian besar diantara kita itu justru lebih banyak berbicara dengan diri sendiri. Mungkin kalau diprosentase 90% berbicara dengan diri sendiri dan hanya 10% kita berbicara dengan orang lain. Nah kalau begitu kebanyakan dan mayoritas dari kita masuk kategori orang GILAAAAA kan... hehehehehehe.. ada yang setuju???

Ya..... tanpa kita sadari kita sering berbicara hanya dengan diri sendiri, bahkan waktu kita berbicara dengan orang lain pun itu hakekatnya justru kita berbicara dengan diri sendiri. Sebagai contoh sederhana, waktu kita bertemu dengan orang tampang seram, bertato, dan pake anting, kita cenderung menganggap orang tersebut preman dan berbahaya. Sehingga kita menaggapi dan berkomunikasi dengan orang tersebut dengan berhati-hati dan menjaga jarak. Padahal kita tidak tahu apakah orang tersebut baik atau jahat. Nah dalam keadaan seperti itu sebenarnya kita berkomunikasi dengan persepsi yang kita buat sendiri. Contoh lain lain waktu kita berkomunikasi dengan atasan/big bos dan bawahan jelas banyak perbedaan, itu juga karena kita punya persepsi dan keinginan/ketidakinginan dan harapan dari komunikasi yang kita inginkan.

Contoh lain, saya pernah ditanya sesuatu hal dan saya jawab dengan data akurat, tapi orang yang bersangkutan tidak percaya, beliau bilang menurut orang engineer tidak begitu dan kamu (maksudnya aku) kan bukan engineer. Well... ternyata data bisa dikalahkan oleh perspsi.

Jadi dalam berkomunikasi kita cenderung hanya ingin mendengar apa yang kita dengar dan bukannya apa yang seharunya di dengar atau data dan fakta yang sebenarnya. Kita ingin dipahami orang dan bukannya memahami orang, kita ingin diperhatikan orang orang dan bukan memperhatikan orang. Kita ingin diberi sesuatu dan bukan ingin memberi sesuatu. Ya itu semua karena kita susah untuk ikhlas. Iklas memberi tanpa mengharap. Iklas melepaskan tanpa harus memiliki. (wah malah kayak cinta saja ini)

Nah terus bagaimana agar kita bisa berkomunikasi dengan baik? Saya sangat setuju dengan tag line dari iklan suatu perusahaan asuransi “ALWAYS LISTENING, ALWAYS UNDERSTANDING”. Ya kita harus lebih banyak mendengar dan bukan banyak bicara, kita harus banyak memberi tanpa meminta. Kita harusnya selalu berprasangka postif kepada semua orang. Yakinlah bahwa pada dasarnya semua orang itu baik, bila kita berbuat baik meski kepada orang jahat InsyaAllah akan kembali ke kita tetap dalam kebaikan.

Okay cukup sekian saja sedikit corat coret anak kecil ini, semoga bisa bermanfaat, dan akhir saya tutup dengan sebuah pertanyaan untuk kita semua:
Apakah kita termasuk orang Gila atau bukan???... jawab dalam hati masing-masing saja ya....
Hehehehehehehehe......


Salam,
Tri Mulyono
(Rebutan nyolong telo)

TUHAN, MAAF AKU BELUM BISA BERDOA PADAMU

Bencana datang silih berganti di negeriku yang indah ini. Banjir bandang wasior papua, banjir dan macet totalnya jakarta, gempa dan tsunami di mentawai, terakhir Engkau letuskan gunung merapiku di jogja sana. Ucapan bela sungkawa dan keprihatinan pun datang dari seluruh penjuru tanah air. Doa untuk Indonesia juga digalakkan di dunia maya.

Tuhan aku hanya bisa bersyukur padaMu atas semua peringatan yang Engkau berikan dan maafkan hambamu ini karena belum bisa berdoa padaMu ya Rabb karena hambamu ini malu.
Aku malu padamu untuk meminta dan rasanya belum pantas. Hambamu terlalu nista dan penuh lumpur dosa padaMu, pada AlamMu, dan pada semua makhlukMu. HambaMu ini sering tak tahu malu dan tak tahu berterimakasih atas segala nikmat limpahan rizki yang Kau berikan. Kau berikan negeri ini alam yang subur dan makmur, tapi malah aku merusak dan hanya mengeksploitasinya untuk kekayaan pribadi. Bahkan aku korupsi hak-hak orang lain dan untuk kepentinganku, keluargaku, dan golonganku.

Aku juga tak sering menyalahkanMu dan mengkambinghitamkan Engkau atas dosa dan salahku dimuka bumi ini. Waktu lumpur di sidoarjo muncul karena underground blowout atas salah kami dalam prosedur dan penanganannya, aku tetap saja menyalahkanMu dengan mengastanamakan itu akibat bencana alam yaitu karena gempa di jogja. Waktu banjir dan macet di jakarta kemarin aku juga menyalahkanMu dengan mengtakan itu karena cuaca ekstrem karena kuasaMu, padahal aku tahu itu salahku yang tak memelihara alam yang kau titipkan padaku, bahkan justru aku yang merusak dan menyia-nyiakannya.
Rasanya banyak sekali kesombanganku ini padaMu ya Tuhan. Aku sering menyalahkan orang lain juga atas salah dan dosa yang aku buat. Sebagai rakyat aku juga menyalahkan pemerintah padahal aku sendiri tak berbuat apa-pa, demikian juga aku sebagai pemerintah selalu menyalahkan rakyat atas ketidakmapuanku dalam memimpin dan mengelola bangsa. Saat dulu waktu sebelum terpilih aku datang untuk menolong yang kena musibah seperti ini, tapi sekarang waktu musibah ini datang silih berganti aku justru memilih jalan-jalan keluar negeri, untuk sekedar refresing. Ya terlalu banyak amanah dariMu yang aku selewengakan.

Karena itu Tuhan aku malu dan belum bisa untuk berdoa padaMu, biarlah teguranMu ini menjadi tanggunangan dosaku. Biarkan aku mengintropeksi diri dulu, biarlah aku memperbaiki diri dulu, biarlah aku bekerja dulu. Hanya itu yang aku bisa lakukan. Semoga tanggung jawab dan musibah ini hanya menjadi tanggunganku, dan tidak Kau berikan kepada orang lain yang tak berdosa.

Terimakasih Tuhan atas teguranMu ini, puji dan syukurku padaMu.

Salam,
Tri Mulyono